Tuesday, March 22, 2016

SEKILAS FILSAFAT ILMU SEBUAH PENGANTAR POPULER BAB 3

BAB III
ONTOLOGI : HAKIKAT APA YANG DIKAJI

Der Herr Gott wurfelt nicht!
(Tuhan tudak melempar dadu!)
Albert Einstein (1879-1955)
6.     Metafisika
Bidang telaah filsafati yang disebut metafisika merupakan tempat berpijak dari setiap pemikiran filsafati termasuk pemikiran ilmiah. Diibaratkan pikiran adalah roket yang meluncur ke bintang-bintang menembus galaksi dan awan gemawan, maka Metafisika adalah landasan peluncurannya. Dunia yang sepintas lalu kelihatan sangat nyata ini, ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang hakikatnya.
Beberapa Tafsiran Metafisika
Tafsiran yang paling pertama diberikan oleh manusia terhadap alam ini adalah bahwa terdapat ujud-ujud yang bersifat gaib (supernatural)  dan ujud-ujud ini bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa dibandingkan dengan alam yang nyata. Animisme merupakan kepercayaan yang berdasarkan pemikiran supernaturalisme ini; dimana manusia percaya bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat pada benda-benda. Animisme merupakan kepercayaan yang paling tua umurnya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia dan masih dipeluk oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini.
Sebagai lawan dari supernaturalisme maka terdapat paham naturalisme yang menolak pendaoat bahwa terhadap ujud-ujud yang bersifat supernatural ini. Materialisme, yang merupakan paham berdasarkan naturalisme ini, berpendapat bahwa gejala-gejala alam tidak disebabkan oleh kekuatan yang bersifat gaib, melainkan oleh kekuatan oleh alam itu sendiri, yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui oleh manusia.
Kaum mekanistik melihat gejala alam (termasuk makhluk hidup) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata. Sedangkan bagi kaum vitalistik hidup adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam ini sebagaimana adanya. Kalau memang itu tujuannya maka kita tidak bisa melepaskan diri dari masalah-masalah yang ada didalamnya bukan? Jadi pada dasarnya tiap ilmuan boleh mempunyai filsafat individual yang berbeda-beda.
7.     Asumsi
      Paham determinisme dikembangkan oleh Willam Hamilton (1788-1856) dari doktrin Thomas Hobbes (1588-1679) yang menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham fatalism yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib yang telah ditetapkan lebih dahulu. Demikian juga paham determinisme ini bertentangan dengan penganut pilihan bebas yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihannya tidak terikat kepada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
      Konsekuensi dari suatu pilihan adalah jelas, sebab sekiranya kita memilih hukum kejadian yang berlaku bagi seluruh manusia, maka kita harus bertolak dari paham determinisme. Sekiranya kita memilih hukum kejadian yang bersifat khas bagi tiap individu manusia maka kita berpaling dari paham pilihan bebas. Sedangkan posisi tengah yang terletak di antara keduanya menantarkan kita ke paham yang bersifat probabilistik.



8.     Peluang
      Jadi berdasarkan teori-teori keilmuan saya tidak akan pernah mendapatkan hal yang pasti mengenai suatu kejadian, Tanya seorang awam kepada seorang ilmuan. Ilmuan itu menggelengkan kepalanya. Tidak. Jawab ilmuan itu sambil tersenyum apologetik, hanya kesimpulan yang probalistik.
      Ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpotensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil keputusan, dimana keputusan manusia harus didasarkan kepada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Dengan demikian maka kata akhir dari suatu keputusan terletak di tangan manusia dan bukan pada teori-teori keilmuan.



9.     Beberapa Asumsi Dalam Ilmu
      Dalam analisis secara mekanistik maka terdapat empat komponen analisis utama yakni zat, gerak, ruang dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa empat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Einstein, berlainan dengan Newton, dalam The Special Theory of Relativity (1905) berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolute, kata Einstein. Bahkan zat itu sendiri pun tidak mutlak, hanya bentuk lain dari energi, dengan rumus yang termsyhur:
E = mc2
      Indeterministik dalam gejala fisik ini muncul dengan penemuan Niels Bohr dalam Prinsip Komplementer (Principle of Complementarity) yang dipublikasikan pada tahun 1913. Prinsip Komplementar ini menyatakan bahwa electron bisa berupa gelombang cahaya dan bisa juga berupa partikel tergantung dari konteksnya.  Masalah ini yang menggoyahkan sendi-sendi fisika ditambah lagi dengan penemuan Prinsip Indeterministik (Prinsiple of Indeterminancy) oleh Werner Heisenberg pada tahun 1927. Heisenberg menyatakan bahwa untuk pasangan besaran tertentu yang disebut conjugate magnitude pada prinsipnya tidak mungkin mengukur kedua besaran tersebut pada waktu yang  sama dengan ketelitian yang tinggi. Prinsip indeterministik ini, kata William Barret, menunjukkan bahwa terdapat limit dalam kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan gejala-gejala fisik. Prinsip ini membuka kesempatan untuk menengok sejenak kepada hakikat alam yang mungkin saja “pada geraknya bersifat irrasional dan kacau” (at bottom be irrational and chaotic).
      Dalam mengembangkan asumsi maka harus diperhatikan beberapa hal. Pertama, asumsi ini harus bersifat relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajiasn teoritis. Kedua, asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana keadaannya” bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi yang pertama adalah asumsi yang mendasari telaah ilmiah sedangkan asumsi yang kedua adalah asumsi yang mendasari telaah moral. Sekirang asumsi semacam ini dalam penyusunan kebijaksanaan (policy) atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya, maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam menganalisis permasalahan.



10.            Batas-Batas Penjelajahan Ilmu
      Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalam manusia juga disebabkab metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas empirisnya. Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta, demikian kata Einstein. Kebutaan moral dari ilmu mungkin membawa kemaunisaan ke jurang malapetaka.
Cabang-Cabang Ilmu
      Pada dasarnya cabang-cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun-rumpun ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang-cabang ilmu sosial (the social sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada kedua kelompok lagi yakni ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semester sedangkan alam kemudia bercang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit) dan ilmu bumi (mempelajari bumi).
      Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilm-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
      Disamping ilmu-ilmu alam dan sosial, pengetahuan juga mencakup humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama dan sejarah. Sedangkan matematika bukan merupakan ilmu, melainkan cara berfikir deduktif.

Bersambung

No comments:

Post a Comment