Wednesday, March 23, 2016

SEKILAS FILSAFAT ILMU SEBUAH PENGANTAR POPULER BAB 4

BAB IV
EPISTEMOLOGI : CARA MENDAPATKAN PENGETAHUAN YANG BENAR




Kau tahu sendiri bagaimana metodeku, Watson.
(Arthur Conan Doyle dalam The Crooked Man).
11.            Jarum Sejarah Pengetahuan
      Jadi kriteria kesamaan dan bukan perbedaan yang menjadi konsep dasar pada waktu dulu. Semua menyatu dalam kesatuan yang batas-batasnya kabur dan mengambang. Tidak terdapat jarak yang jelas antara obyek yang satu dengan obyek yang lainnya. Konsep dasar ini baru mengalami perubahan fundamental dengan berkembangnya Abad Penalaran (The Age of Reason) pada pertengahan abad ke-17. Sebelum Charles Darwin menyusun teori evolusinya kita menganggap semua makhluk adalah serupa yang diciptakan dalam waktu yang sama.
      Dengan berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan, yang mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan dan konsekuensinya mengubah strukruk kemasyarakatan. Pohon pengetahuan mulai dibeda-bedakan paling tidak berdasarkan apa yang diketahui, bagaiamana cara mengetahui dan untuk apa pengetahuan itu dipergunakan.
      “Ah,” keluh sejarawan Hendrik Willem van Loon, “ingin saya menuliskan sejarah dalam satu suku kata.”
      “Satu suku kata mungkin tidak bisa,” jawab seorang ilmuan “namun mungkin ada kalimat yang patut diingat oleh mereka yang mendalami perkembangan ilmu.”
      “Yakni…..”
      “Jangan putar jarum sejarah!”



12.            Pengetahuan
      Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental yang secara langsung atau tak langsung turun memperkaya kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagiamana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
      Setiap pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontology), bagaiamana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut itu disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan;jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
      Seni pada sisi lain dari pengetahuan, mencoba mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh-penuh maknanya. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas menjadi beberapa variabel yang terikat pada sebuah hubungan yang bersifat rasional, maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya, lewat berbagaia kemampuan manusia untuk menangkapnya, seperti pikiran, emosi dan pancaindera. Model pengangkatan realitas dalam seni, sekiranya karya seni dapat diibaratkan sebuah model, adalah bersifat penuh dan rumit namun tidak bersifat sistematik. Karena itu kita tidak bisa mempergunakan model tersebut untuk meramalkan dan mengontrol gejala alam. Tetapi memang bukan itulah tujuan sebuah kegiatan seni.
      Usaha untuk menjelaskan gejala ala mini sudah mulai dilakukan oleh menusia sejak dulu kala. Diperkirakan bahwa nenek moyang kita pun tak kurang takjubnya memperhatikan berbagai kekuatan alam yang terdapat di sekeliling mereka. Mereka merasa tak berdaya menghadapi kekuatan alam yang sangat dahsyat yang dianggapnya merupakan kekuatan yang luar biasa ini, dicobanya unuk menjelaskannya mengkaitkan dengan makhluk yang luar biasa pula, dan berkembanglah berbagai mitos tentang berbagai dewa dengan berbagai kesaktian dan perangainya. Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribdian dan kelakuan mereka dank arena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, berkembanglah tokoh-tokoh supernatural yang bersifat begitu.
      Tahap selanjutnya ditandai oleh usaha manusia untuk mencoba menafsirkan dunia ini terlepas dari belenggu mitos, mereka menatap kehidupan ini tidak lagi dari balik harum dupa atau asap kemenyan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis. Berkembanglah lalu pengetahuan yang berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (common sense) yang didukung oleh metode mencoba-coba (trial-and-error).
      Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut “seni terapan” yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan sehari-hari di samping “seni halus” yang bertujuan untuk memperkaya spiritual. Seni terpakai ini mempunyai dua ciri, yaitu:
1.      Bersifat deskriptif dan fenomenologis
2.      Ruang lingkup terbatas
      Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab tak mempunyai landasan permulaan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat.
      Ilmu mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian. Dalam usaha menemukan penjelasan ini terutama penjelasan yang bersifat mendasar dan postulasional, maka ilmu tidak bisa melepaskan diri dari penafsiran yang bersifat rasional dan metafisis. Ilmu mempunyai dua buah peranan, ujar Bertrand Russel, pada satu pihak sebagai metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense). Berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktin yang dilakukan secara empiris.
      Metode eksperimen dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan islam, ketika ilmu dan pengetahuan lainnya mencapai kulminasi antara abad IX dan XII Masehi. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini mempunyai pengaruh penting terhadap cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyatan empiris atau tidak.



13.            Metode Ilmiah
      Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan ilmu pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang bisa didapatkan dengan memenuhi berbagai syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi terdapat dalam metode ilmia.
      Seperti diketahui berfikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara kerja pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan diharapkan mampunyai karakteristik-karakteristik tertentu yang diminta oleh pengetahuan ilmiah, yang bersifat rasional dan teruji yang memungkinkan tubuh pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mecoba menggabungkan cara berfikir deduktif dan cara berfikir induktif dalam membangun tubuh pengetahuannya.
      Berfikir deduktif memberika sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah disusun setahap demi setahap dengan menyusun berbagai argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada.
      Penjelasan yang bersifat rasional ini dengan kriteria kebenaran koherensi tidak memberikan kesimpulan yang bersifat final, sebab sesuai dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik, maka dimugkinkan disusunkannya berbagai penjelasan terhadap suatu obyek pemikiran tertentu. Oleh karena itu, maka dipergunakan pula cara berfikir induktif yang berdasarkan kriteria kebenaran korespondensi.
      Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya materi yang dikandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi) dengan obyek factual yang dituju oleh pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar bila terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut.
      Proses kegiatan ilmiah menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Disimpulkan bahwa karena ada masalahlah maka proses kegiatan berfikir dimulai, dan karena masalah ini berasal dari dunia empiris, maka proses berfikir tersebut diarahkan kepada pengamatan obyek yang bersangkutan, yang bereksistensi dalam dunia empiris pula.
      Karena masalah yang dihadapinya adalah nyata maka ilmu mencari jawabannya pada dunia yang nyata pula. Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.
      Hipotesis merupakan dugaan atau jawaban sementara permasalahan yang sedang kita hadapi. Dalam melakukan penelitian untuk mendapatkan jawaban yang benar maka seorang ilmuan seakan-akan melakukan sesuatu “interogasi terhadap alam”. Hipotesis dalam hubungan ini berfungsi sebagai penunjuk jalan yang memugkinkan kita untuk mendapatkan jawaban, karena alam itu sendiri membisu dan tidak responsive terhadap pertayaan-pertanyaan. Harus kita sadari bahwa hipotesis itu sendiri merupakan penjelasan yang bersifat sementara yang membantu kita dalam melakukan penyelidikan.
      Hipotesis ini pada dasarnya disusun secara deduktif dengan mengambil premis-premis dan pengatahuan ilmiah yang sudah diketahui sebelumnya. Penyusunan seperti ini memungkinkan terjadinya konsistensi dalam mengembangkan ilmu secara keseluruhan dan menimbulkan pula efek kumulatif dalam kemajuan ilmu.
      Dengan adanya jembatan berupa penyusunan hipotesis ini maka metode ilmiah sering dikenal sebagai proses logico-hypothetico-verification; atau menurut Tyndall sebagai “perkawinan yang bekesinambungan antara deduksi dan induksi”. Proses induksi ini mulai memegang peranan dalam tahap verifikasi atau pengujian hipotesis di mana dikumpulkan fakta-fakta empiris untuk menilai apakah sebuah hipotesis didukung oleh fakta atau tidak. Sebenarnya dalam proses penyusunan hipotesis ini, meskipun dasar berfikirnya adalah deduktif, kegiatannya tidaklah sama sekali terbebas dari proses induktif. Penyusunan hipotesis itu sendiri dilakukan dalam kerangka permasalahan yang bereksistensi secara empiris dengan pengamatan kita yang mau tak mau turut mempengauhi pross berfikir deduktif. Kegiatan seperti ini akan leboh mendekatkan lagi hipotesis yang kita susun dengan dunia fisik yang secara teoritis memperbesar peluang hipoteis untuk dapat diterima.
      Langkah selanjutnya setelah menentukan hipotesis adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengkonfrontasikan dengan dunia fisik yang nyata. Proses pengujian merupakan pengumpulan fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan.
      Alur berfikir yang tercangkup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberpapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berfikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1)      Perumusan masalah;
2)      Penyusunan kerangka berfikir dalam pengajuan hipotesis;
3)      Perumusan hipoteis;
4)      Pengujian hipotesis;
5)      Penarikan kesimpulan.
      Keseluruhan langkah ini harus ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Langkah-langkah yang telah disebutkan diatas harus dianggap sebagai patokan utama di mana dalam penelitian yang sesungguhnya mungkin saja berkembang sebagai variasi sesuai dengan bidang dan permasalahan yang diteliti.
      Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuan. Sebuah laporan penelitian ilmiah mempunyai sistematika  cara berfikir tertentu yang tercermin dalam format dan tekniknya. Perbedaan utama dari metode ilmiah bila dibandingkan dengan metode-metode pengetahuan lainnya, meurut Jacob Bronowski, adalah hakikat metode ilmiah yang bersifat sistematik dan eksplisit.
      Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah bersifat absolut. Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita terima kebenarannya selama tidak didaptkan fakta yang menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru kepada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis ilmu. Ilmu tidak bertujuan mencari kebenaran absolute melaikan kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap perkembangan tertentu.
      Penelitian merupakan pencerminan secara konkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya. Metodologi penelitian ilmiah dan hakikatnya merupakan operasionalisasi dari metode keilmuan. Dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian. Langkah-langkah penelitian yang mencakup apa yang diteliti, bagaiamana penelitian dilakukan serta untuk apa hasil penelitian digunakan adalah koheren dengan landasan ontologis,  epistemologis, dan aksiologis keilmuan. Dengan demikian maka pengetahuan filsafati yang bersifat potensial secara konkret memperkuat kemampuan ilmuan dalam melakukan kegiatan ilmiah secara operasional.
      Ilmu juga bersifat konsisten karena penemuan yang satu didasarkan kepada penemuan-penemuan sebelumnya. Sebenernya hal ini tidak seluruhnya benar karena sampai saat ini belum satu pun dari seluruh disiplin keilmuan yang telah berhasil menyusun satu teori yang konsisten dan menyeluruh.
      Ilmu memandang kebenaran sebagai tujuan yang mungkin dapat dicapai namun tak pernah sepenuhnya tangkapan kita itu sampai. Tiap langkah kita dalam menemukan pengetahuan yang benar selalu diintai oleh kekeliruan. Kegiatan ilmuan pada jiwanya merupakan komitmen moral dan intelektual untuk mencoba mendekati kebenaran dengan cara sebenar-benarnya.
      Demikian juga ilmu yang makin terspesialisasikan menyebabkan bidang kajian suatu disiplin keilmuan semakin sempit  yang ditambah berbagai pembatasan dalam pengkajiannya seperti postulat, asumsi dan prinsip membikin lingkup penglihatan keilmuan makin bertambah sempit pula. Hal inilah yang menimbulkan gejaladeformation professionalle yakni perubahan bentuk sebuah ujud dilihat dari kacamata profesional. Bentuk yang bersifat artifisial ini berbeda dengan kenyataan yang sebenarnya disebabkan berkembangnya sarana berfikir yang merupakan kerangka yang mengikat berbagai disiplin keilmuan dalam melakukan penelaahan bersama diantaranya adalah cara berfikir sistem.
      Terlepas dari segala keterbatasannya ilmu merupakan pengetahuan yang telah menunjukkan keampuhannya dalam membangun kemajuan peradaban.  Kekurangan dan kelebihan ilmu harus digunakan sebagai pedoman untuk meletakkan ilmu dalam tempat yang sewajarnya, sebab hanya dengan sikap itulah, kita dapat memanfaatkan kegunaanya semaksimal mungkin bagi kemaslahatan manusia.  Mengatasi harus kita sadari bahwa ilmu hanyalah sekedar alat dan semuanya tergantung kita apakah kita mempergunakan alat ini dengan baik atau tidak.



14.            Struktur Pengetahuan Ilmiah
     Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Ilmu dapat diibaratkan sebagai piramida terbalik dengan perkembangan pengetahuannya yang bersifat kumulatif di mana penemuan pengetahuan ilmiah yang satu memungkinkan penemuan pengetahuan-pengetahuan ilmiah yang lainnya.
      Ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya memiliki tiga fungsi, yakni menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Tantum possumus, ujar Francis Bacon, quantum scimus!(kita dapat melakukan sesuatu sebatas yang kita tahu!).
      Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan yakni deduktif, probabilistik, fungsional atau teologis, dan genetik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berfikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif melainkan penjelasan yang bersifat peluang seperti “kemungkinn”, “kemungkinan besar” atau “hamper dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsure dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetic mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul demikian.
      Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mecakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenanya tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja contohnya fisika. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergabung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif teoritis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lainnya.
      Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang mencangkup hubungan sebab akibat ini, atau dengan perkataan lain hubungan kasualita, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.
      Teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala-gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan ”alat” yang dapat dipergunakan untuk mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal.
      Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep maka makin “teoritis” konsep tersebut. Pengertian teoritis di sini dikaitkan dengan gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud;  artinya makin teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata. Konsep-konsep teoritis seperti gravitasi da medan elektromagnetik merupakan penjelasan yang bersifat mendasar yang mampu mengikat berbagai gejala-gejala fisik secara universal.
      Kegunaan praktis dari sebuah konsep yang bersifat teoritis baru dapat dikembangkan sekiranya konsep yang bersifat mendasar tersebut diterapkan pada masalah-masalah yang bersifat praktis.  Dan dari pengertian inilah kita sering mendengar konsep dasar dan konsep terapa yang juga diwujudkan dalam bentuk ilmu dasar dan ilmu terapan serta penelitian dasar dan penelitian terapan.
      Di samping hukum maka teori keilmuan juga mengenai kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala.
      Beberapa disiplin keilmuan sering mengembangkan apa yang disebut postulat dalam menyusun teorinya. Postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahklan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja.
      Bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya maka hal ini berlainan dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji.
      Penelitian  yang bertujuan menemukan pengetahan baru yang sebelumnya
belum pernah diketahui dinamakan penelitian muri atau penelitian dasar Sedangkan penelitian yang bertujuan untuk mempergunakan pengetahuan ilmiah yang telah diketahui untuk memecahkan masalah kehidupan yang bersifat praktis dinamakan penelitian terapan. Dengan menguasai pengetahuan ini maka manusia mengembangkan teknologi atau peralatan yang berfungsi sebagai sarana yang memberikan kemudahan dalam kehidupannya.

      Manusia disebut juga Homo faber (makhluk yang membuat peralatan) di sampaingHomo sapiens (makhuk yang berfikir) yang mencerminkan kaitan antara pengetahuan yang bersifat teoritis dengan teknologi yang bersifat praktis. Berbeda dengan pengetahuan lainnya seperti seni yang bersifat estetis maka ilmu adalah pengetahuan yang dikembangkan oleh manusia untuk memecahkan masalah-masalah praktis dalam kehidupannya. Meskipun pada tahap embrional pengembangan ilmu pun pernah bersifat estetis, namun dengan perkembangan kearah kedewasaannya serta kemampuan bidang penerapannya, maka ilmu harus dibedakan dengan pengetahian-pengetahuan lainnya terutama dari segi kemampunannya untuk memecahkan masalah.

Bersambung

No comments:

Post a Comment