Wednesday, March 30, 2016

SEKILAS FILSAFAT ILMU SEBUAH PENGANTAR POPULER BAB 5

BAB V
SARANA BERFIKIR ILMIAH

Burung beo tidak bisa bernyanyi. Bicara, mungkin, Holler.
Tetapi, sumpah setengah mati, mereka tidak bisa menyanyi….
Truman Capote dalam In Cold Blood (New York: Signet, 1965), hal. 27.          
15.  Sarana Berfikir Ilmiah
     Perbedaan utama antara manusia dan binatang terletak pada kemampuan manusia untuk mengambil jalan melingkar dalam mencapai tujuannya. Manusia sering disebut sebagai Homo faber: makhluk yang membuat alat; dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan oleh pengetahauan. Berkembangnya pengetahuan tersebut juga memerlukan alat-alat.
      Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik diperlukan sarana berfikir. Tersedianya sarana tersebut memungkinkan dilakukannya penelitian ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana berfikir ilmiah ini merupakan suatu hal yang bersifat imperatif bagi seorang ilmuan. Tanpa menguasai hal ini maka kegiatan ilmiah yang baik tak dapat dilakukan.
      Sarana berfikir ilmiah ini, dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berfikir ilmiah ini seperti kita mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukanlah merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Kedua, tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah untuk memungkinkan kita untuk bisa memecahkan masalah kita sehari-hari.
      Untuk dapat melakukan kegiatan berfikir ilmiah sengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berfikir ilmiah di mana bahasa merupakan alat berfikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berfikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berfikir deduktif dan induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif.



16.            Bahasa
      Keunikan manusia sebenarnya terletak pada kemampuna berbahasanya bukan terletak pada kemampuan berfikirnya. Dalam hal ini maka Ernst Cassirer menyebuat manusia sebagai Animal symbolicum, makhluk yang mempergunakan simbol, yang secara genetik mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada Homo sapiens yakni makhluk yang berfikir, sebab dalam kegiatan berfikirnya manusia mempergunakan simbol. Tanpa mempunyai kemampuan berbahasa ini maka kegiatan berfikir secara sistematis dan teratur tidak mungkin dapat dilakuakan. Lebih lanjut lagi, tanpa kemampuan berbahasa ini maka manusia tak mungkin menembangkan kebudayaannya, sebab tanpa mempunyai bahasa maka hilang pulalah kemampuan untuk meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. “Tanpa bahasa” simpul Aldous Huxley, “manusia tak berbeda dengan anjing dan monyet.”
Apakah Sebenarnya Bahasa?
      Pertama, bahasa dapat dicirikan sebagai serangkain bunyi. Kedua, bahasa merupakan lambang di mana rangkaian bunyi ini membentuk suatu arti tertentu. Manusia mengumpulkan lambing-lambang dan menyusun apa yang kita kenal sebagai pembendaharaan kata-kata. Pembendaharaan ini pada hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.
      Adanya lambang-lambang ini memungkinkan manusia ini dapat berfikir dan belajar dengan lebih baik. Adanaya bahasa ini memungkinkan kita untuk memikirkan sesuatu dalam benak kepala kita, meskipun obyek yang sedang kita pikirkan tersebut tidak berada di dekat kita. Manusia dengan kemampuannya berbahasa memungkinkan untuk memikirkan masalah secara teru-menerus.
      Jadi dengan bahasa bukan saja manusia dapat berfikir secara teratur namun juga dapat mengkomunikasikan apa yang sedang ia pikirkan kepada orang lain. Namun bukan itu saja, dengan bahasa kita dapat mengekspresikan sikap dan perasaan kita. Dengan adanaya bahasa maka manusia hidup dalam dunia yakni dunia pengalaman yang nyata dan dunia simbolik yang dinyatakan dengan bahasa.
      Dengan ini manusia member arti kepada hidupnya. Arti yang terpateri dalam dunia simbolik diwujudkan lewat kata-kata. Kata-kata lalu mempunyai arti bahkan kekuatan. Seni merupakan kegiatan estetik yang banyak mempergunakan aspek emotif dari bahasa baik itu seni suara maupun seni sastra. Dalam hal ini, bahasa bukan hanya saja dipergunakan untuk mengemukakan perasaan itu sendiri melainkan juga merupakan ramuan untuk menjelmakan pengalaman yang ekspresif. Bahasa dipergunakan secara plastic, seperti kita membuat patung dari tanah liat, di mana komunikasi yang terjadi mempunyai kecenderungan emotif.
      Komunikasi ilmiah mengisyaratkan bentuk komunikasi yang sangat lain dengan komunikasi estetik. Komunikasi ilmah bertujuan untuk menyampaikan informasi yang berupa pengetahuan. Agar komunikasi ilmiah ini berjalan denga baik maka bahasa yang dipergunakan harus terbebas dari unsure-unsur emotif. Kumunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif. Oleh sebab itu maka proses komunikasi ilmiah harus bersifat jelas dan obyektif yakni terbebas dari unsur-unsur emotif.
      Berbahasa dengan jelas artinya ialah bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang dipergunakan diungkapkan secara tersurat (eksplisit) untuk mecegah pemberian makna yang lain. Oleh karena itu, maka dalam komunikasi ilmiah kita mempergunakan kata seperti “epistemologi” atau “optimal” maka kita harus menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan kata-kata itu.
      Karya ilmiah pada dasarnya merupakan kumpulan pernyataan yang mengemukakan informasi tentang pengetahuan maupun jalan pemikiran dalam mendapatkan pengetahuan tersebut. Untuk mampu meng-komunikasikan suatu pernyataan dengan jelas maka seseorang harus menguasai tata bahasa yang baik. Hal ini berlaku bagi kegiatan ilmiah dan non ilmiah. “Tata bahasa,” menurut Charlaton Laird, “merupakan alat dalam mempergunakan aspek logis dan kreatif dari pikiran untuk mengungkapkan arti dan emosi dengan mempergunakan aturan-aturan tertentu.
      Karya ilmiah juga mempunyai gaya penulisan yang pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencoba menghindari kecenderungan yang bersifat emosional bagi kegiatan seni namun merupakan kerugian bagi kegiatan ilmiah.
Beberapa Kekurangan Bahasa
      Sebagai sarana komunikasi ilmiah maka bahasa mempuyai beberapa kekurangan. Kekurangan ini pada hakikatnya terletak pada peranan bahasa itu sendiri yang bersifat multifungsi yakni sebagai sarana komunikasi emotif, afektif, dan simbolik. Kekurangan yang kedua terletak pada arti yang tidak jelas dan eksak yang dikandung oleh kata-kata yang membangun bahasa. Kelemahan lain terletak pada sifat majemuk (pluralistik) dari bahasa. Kelemahan yang lain dari bahasa adalah konotasi yang bersifat emosional.
      Masalah bahasa ini menjadi bahan pemikiran yang sungguh-sungguh dari para ahli filsafat modern. Pengkajian filsafat, termasuk pengkajian hakikat ilmu, pada dasarnya merupakan analisis logico-linguistik.
17.            Matematika
Matematika Sebagai Bahasa
      Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari pernyataan yang ingik kita sampaikan. Lambing-lambang matematika bersifat “artifisial” yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna diberikan padanya. Tanpa itu maka matematika hanya merupakan kumpulan rumus-rumus yang mati.
      Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling kepada matematika. Dalam hal ini dapat kita katakana bahwa matematika adalah bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kubur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.
Sifat Kuantitatif Dari Matematika
      Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa verbal. Matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif. Bahasa verbal hanya mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif. Demikian juga maka penjelasan dan ramalan yang diberikan oleh ilmu dalam bahasa verbal semuanya bersifat kualitatif.
Matematika: Sarana Berfikir Deduktif
      Secara deduktif menemukan pengetahuan yang baru berdasarkan premis-premis tertentu. Pengetahuan yang ditemukan ini sebenarnya hanyalah merupakan konsekuensi dari pernyataan-pernyataan ilmiah yang telah kita temukan sebelumnya. Meskipun “tak pernah ada kejutan dalam logika” namun pengetahuan yang didapatkan secara deduktif ini sungguh sangat berguna dan memberikan kejutan yang sangat menyenagkan.
Perkemabangan Matematika
      Ditinjau dari perkembangannya maka ilmu dapat dibagi kedalam tiga tahap yakni tahap sistematika, komparatif dan kuantitatif. Griffits dan Howson (1974) membagi sejarah perkembangan matematika menjadi empat tahap. Tahap yang pertama dimulai dengan matematika yang berkembang pada peradaban Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia.
      Adanya dua sistem ilmu ukur yang keduanya bersifat konsisten ini bukan berarti bahwa sistem Ilmu Ukur Euclid atau ilmu Ukur Non-Euclid ini bersifat benar atau salah sebab hal ini harus dilihat dalam ruang lingkupnya masing-masing. Matematika bukanlah merupakan pengetahuan mengenai obyek tertentu melainkan cara berfikir untuk mendapatkan pengetahuan tersebut.

Beberapa Aliran Dalam Filsafat Matematika
      Immanual Kant (1724-1804) yang berpendapat bahwa matematika merupakan pengetahuan yang bersifat sintetik apriori di mana eksisitensi matematika tergantung dari pancaindera serta pendapat dari aliran yang disebut logistk yang berpendapat bahwa matematika merupakan cara berfikir logis yang salah atau benarnya dapat ditentukan tanpa mempelajari dunia empiris. Akhir-akhir ini filsafat Kant tentang matematika ini mendapat momentum baru dalam aliran yang disebut intusionis dengan eksponen utamanya adalah seorang ahli matematika berkebangsaan Belanda bernama Jan Brouwer (1881-1966). Di samping dua aliran ini terdapat pula aliran ketiga yang dipelopori oleh David Hilbert (1862-1943) dan terkenal dengan sebutan kaum formalis.
Matematika dan Peradaban
      Matematika tidak dapat dilepaskan dari perkembangan peradaban manusia. Penduduk kota yang pertama adalah “makhluk yang berbicara” (talking animal), kata Lancelot Hogben, dan penduduk kota kurun teknologi ini adalah “makhluk yang berhitung” (calculating animal) yang hidup dalam jaringan angka-angka. Tanpa matematika maka pengetahuan akan berhenti pada tahap kualitatif yang tidak memungkinkan untuk meningkatkan penalarannya lebih jauh.
      Angka tidak bertujuan menggantikan kata-kata; pengukuran sekedar unsur dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama. Teknik matematika yang tinggi bukan merupakan penghalang untuk meng-komunikasikan pernyataan yang dikandungnya dalam kalimat-kalimat yang sederhana. Kebenaran yang merupakan fundasi dasar dari tiap karakteristik yang sama; sederhana dan jelas; transparan bagai Kristal kaca.



18.            Statistika
      Konsep statistika sering dikaitkan dengan distribusi variabel yang ditelaah dalam suatu populasi tertentu. Abraham Demoivre (1667-1754) mengembangkan teori galat atau kekeliruan (theory of error). Pada tahun 1757 Thomas Simpson menyimpulkan bahwa terdapat suatu distribusi yang berlanjut (continuous distribution) dari suatu variabel dalam suatu frekuensi yang cukup banyak. Pierre Simon de Laplace (1749-1827) mengembangkan konsep Demoivre dan Simpson lebih lanjut dan menemukan distribusi normal; sebuah konsep yang mungkin paling umum dan paling banyak dipergunakan dalam analisis statistika di samping teori peluang. Distribusi lain, yang tidak berupa kurva normal, kemudian ditemukan Francis Galton (1822-1911) dan Karl Pearson (1857-1936).
Statistika dan Cara Berfikir Induktif
      Penarikan kesimpulan induktif pada hakikatnya berbeda dengan penarikan kesimpulan secara deduktif. Dalam penalaran deduktif maka kesimpulan yang ditarik adalah benar sekiranya premis-premis yang dipergunakannya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya adalah sah. Sedangkan dalam penarikan induktif meskipun premis-premisnya adalah benar dan prosedur penarikan kesimpulannya sah maka kesimpulan itu belum tentu benar. Yang dapat kita katakana adalah bahwa kesimpulan itu mempunyai peluang untuk benar. Statiska merupakan pengetahuan yang memungkinkan kita untuk menghitung tingkat peluang ini dengan eksak.
Karakteristik Berfikir Induktif
      Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik. Dasar dari teori statistika adalah teori peluang. Teori peluang merupakan cabang dari matematika sedangkan statistika sendiri merupakan disiplin sendiri. Menurut bidang kajiannya statistika dapat kita bedakan sebagai statistika teoritis dan statistika terapan.
      Statistika merupakan sarana berfikir yang diperlukan untuk memproses pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan secara kebetulan.

Bersambung

No comments:

Post a Comment